Rabu, 07 Januari 2009

Pendidikan Bermutu Indonesia Maju

Setiap manusia punya kewajiban untuk senantiasa belajar tanpa kenal tempat dan waktu, artinya di manapun dia seharusnya mampu menjadikan kesempatan itu untuk meng-upgrade diri, mencuatkan potensi,dan mengimplementasikan konsep. Belajar tidak hanya duduk di kelas, menerima ilmu dari guru, tetapi mengimplementasikan konsep juga merupakan proses belajar. Dari situlah kita akan menerima reaksi/feed back yang menghendaki kepada kita untuk mensikapinya. Itu yang lebih riil! Sukses? Error? Ditolak? Dan sebagainya.
Melihat bencana alam (banjir, tanah longsor, dll), mengajar di kelas, menyelesaikan konflik, memberi bantuan pada kaum miskin, dan seterusnya. Artinya hidup ini adalah pembelajaran kita, belajar untuk menjadi lebih baik, mengoptimalkan potensi, sampai pada kita memahami hakikat kehidupan; sehingga kita akan smakin arif mensikapi apa saja yang terjadi, tau apa yang harus dikerjakan dan kenapa ia harus mengerjakan.
Menurut Prof. Dr. Sudarwan Danim bahwa untuk membentuk pribadi pembelajar adalah merupakan pekerjaan pendidikan; mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, keteladanan, atau bahkan memandu atau menggurui. Hal itu dilakukan bukan sekadar agar peserta didik mengetahui apa yang diajarkan atau dilatihkan melainkan bagaimana peserta didik menjadi sadar akan makna belajar, learn how to learn, sampai mereka menjadi manusia pembelajar.
Manusia pembelajar adalah mereka yang menjadikan aktivitas belajar sebagai bagian dari kehidupan dan merupakan kebutuhan hidup. Pilar-pilar yang harus ada pada Manusia pembelajar antara lain:
1. Rasa ingin tau
Kehidupan ini ekspanding, tidak boleh ada manusia yg mengatakan dia sudah maksimal. Maksimal menurut dia itu merupakan batas dari kefahaman dirinya. Padahal ‘kotak’ seseorang bisa diperbesar melalui penambahan pengetahuan (belajar), informasi/ilmu yang tiada habisnya. Sejauh mana rasa ingin tau anda terhadap beberapa hal?
2. Optimis
It’s basic! Dalam mencapai sesuatu dituntut untuk optimis berhasil, kalaupun gagal bagaimana kita bangkit dan bangkit, Try n error menuju keberhasilan. Bagaimana jiwa optimisme anda?
3. Konsistensi
Kita punya tujuan dan cita-cita. Kita kemudian mulai belajar untuk mencapainya. Namun seringkali usaha untuk mencapai cita-cita/tujuan itu kandas hanya karena kita tergiur oleh hal baru. Kita belum konsisten dalam meniti cita-cita dan mengawalnya sampai berhasil. Bagaimana dengan kita?
4. Keihlasan
Orang yang ikhlas tidak akan mengenal lelah, ia selalu bergairah melakukan sesuatu. Ia punya energy kedua ketika masih butuh waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Banyak gagasan, strategi, ide-ide baru untuk berbuat. Enjoy dalam bekerja merupakan bagian dari keihlasan.
5. Visioner
Model berfikir tinggi yang melebihi orang rata-rata. Mereka berfikir jauh ke depan, membuat mimpi akan menjadi apa 5 tahun atau 10 tahun ke depan? Tidak menginginkan hasil instant tapi benar-benar berproses sampai ia menjadi expert.

Menjadi manusia pembelajar adalah plihan, yang tidak akan terpikir oleh mereka yang mempunyai pikiran kerdil dan merasa nyaman dengan kondisi saat ini. Anda ingin menjadi manusia pembelajar? 

Berjuang tuntaskan perubahan !
Fuad Hanif Hasan (FH2)

Mahal, Pendidikan Bermutu Rendah

Anggaran pendidikan yang hampir tak pernah lebih dari 10 persen APBN, target kelulusan ujian nasional yang rendah, standar pendidikan yang baru ribut disusun setelah 60 tahun merdeka, dan pendidikan yang seolah-olah hanya urusan Menteri Pendidikan, mengungkap satu hal: pemerintah tidak memiliki kebijakan pendidikan berorientasi mutu tinggi.

Pemerintah berganti-ganti, termasuk pemerintah saat ini, masih percaya, orang Indonesia yang rata-rata miskin tidak berhak memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi karena pendidikan semacam ini mahal (terlalu mewah) biayanya. Benarkah demikian?

Itu adalah kebijakan yang amat keliru dan biaya pendidikan murah serta bermutu rendah ini justru mahal sekali. Kemiskinan adalah harga yang harus dibayar dari pendidikan semacam ini.

Kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu tinggi telah menyebabkan infrastruktur pendidikan yang jauh dari memadai (gedung rusak tidak terawat, perpustakaan dengan koleksi usang dan terbatas), guru yang tidak kompeten dan memiliki citra diri yang negatif, serta proses-proses pembelajaran yang miskin inovasi karena penelitian pendidikan yang telantar.

Akibat pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun, untuk dua tahun terakhir ini saja pengangguran warga usia produktif ditaksir mencapai sekitar 15 juta orang.

Pengangguran yang tinggi disebabkan dua hal: kesempatan kerja terbatas dan inkompetensi (warga yang tidak terdidik dan terlatih baik).

Dari dua hal ini, inkompetensi dalam banyak situasi merupakan faktor yang menyebabkan kesempatan kerja terbatas. Banyak lulusan pendidikan yang tidak memiliki kompetensi dasar yang dibutuhkan wirausahawan: berani mengambil risiko, kreatif, dan peka pasar. Birokrat yang tidak kompeten telah menampilkan perilaku yang tidak ramah pada investor sehingga investasi yang melahirkan kesempatan kerja tidak tumbuh seperti diharapkan.

Akibat pengangguran ini saja, kita telah merugi kira-kira Rp 15 triliun per bulan atau sekitar Rp 180 triliun per tahun berupa opportunity loss. Anggaran APBN yang hanya sekitar Rp 40 triliun saat ini tidak sebanding dengan kerugian akibat kehilangan kesempatan bekerja yang besarnya bisa mencapai empat kali lipat. Ini berarti, pendidikan yang bermutu rendah justru mahal sekali harganya. Bahkan, banyak perusahaan yang mulai melakukan relokasi usaha ke negara lain yang lebih ramah, seperti Malaysia, Vietnam, dan China.

Kolam talenta

Warga negara yang tidak kompeten juga menyumbang pada jumlah investasi yang rendah di negeri ini. Daya tarik investasi sebuah negara sebagian ditentukan oleh kolam talenta negeri itu. Warga yang tidak terampil, penguasaan bahasa asing yang amat terbatas, sikap yang tidak jujur, indisiplin, dan tidak toleran merupakan disinsentif bagi investasi. Lingkungan yang rusak juga merupakan indikasi warga negara yang tidak terdidik dengan baik.

Warga dan pemimpin yang tidak terdidik dengan baik gagal mengembangkan dialog sosial, menggunakan sarana demonstrasi sebagai cara berkomunikasi, bukan dengan berdebat.

Budaya demonstrasi, bahkan oleh mahasiswa, adalah indikasi kegagalan demokrasi yang sehat. Cara berkomunikasi satu arah ini menunjukkan kegagalan sekolah dan kampus mengembangkan budaya berbeda pendapat secara sehat. Kita tahu, demonstrasi mudah sekali ditunggangi untuk dibawa ke anarki, amuk massa, dan kerusakan prasarana serta sarana pembangunan.

Warga yang tidak terdidik hanya akan menghasilkan demokrasi yang tidak sehat, menghasilkan pemimpin yang tidak berkompeten. Berapa biaya yang harus kita tanggung akibat pejabat eksekutif dan legislatif, juga yudikatif, yang tidak kompeten secara moral dan teknikal?

Biayanya adalah reformasi yang tidak jelas ujungnya, seperti saat ini, serta revitalisasi ekonomi yang amat lamban.

Secara teoretis, kebijakan menetapkan target mutu pendidikan yang rendah (semacam nilai kelulusan ujian 4,50) adalah resep bagi banyak produk pendidikan yang cacat (lulusan pendidikan yang tidak kompeten jumlahnya justru besar).

Kebijakan mutu tinggi, jika disikapi secara konsisten, akan menghasilkan banyak lulusan yang kompeten, dan jumlah ketidaklulusan (yang tidak kompeten) justru sedikit. Kebijakan ini akan menghasilkan warga negara yang berkompeten dalam jumlah besar.

Masalahnya adalah, berbeda dengan cacat barang yang dengan mudah bisa didaur ulang, manusia yang terlanjur salah didik, tidak berkompeten secara moral, mahal sekali biaya rehabilitasinya. Warga semacam ini bukan aset bangsa, tetapi malah menjadi liability-nya. Dan, jika jumlahnya terlalu besar, akan menjadi "bom waktu" demografi.

Efek berganda

Investasi pembangunan pendidikan yang memadai akan menggerakkan ekonomi masyarakat dengan efek berganda yang besar melalui pembangunan sekolah baru, pengadaan dan perawatan infrastruktur pendidikan, peningkatan ekonomi perbukuan, serta daya beli guru yang meningkat (jumlahnya ratusan ribu). Warga yang kompeten tidak saja sanggup meraih setiap peluang kerja yang tersedia melalui investasi, tapi juga sanggup menciptakan lapangan-lapangan kerja yang baru.

Karena itu, kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu sekarang ini adalah kebijakan yang keliru dan mahal biayanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengambil alih kebijakan pendidikan nasional dari sekadar urusan Menteri Pendidikan Nasional.

Masalah pendidikan adalah masalah lintas sektor, harus menjadi kebijakan presiden. Kita harus segera mengambil kebijakan pendidikan berorientasi mutu yang tinggi.

Jika perubahan kebijakan pendidikan ini tidak kunjung berubah, saya curiga, kebijakan pendidikan yang tidak bermutu ini disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam. Money politics akan "tidak dibeli" oleh warga negara yang terdidik.

Daniel MOH Rosyid
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Tenaga Ahli Menristek, dan Dosen Teknik Kelautan ITS


Pemerintah Wujudkan Pendidikan Bermutu, Murah dan Merata

Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan perhatian khusus terhadap upaya mewujudkan program pendidikan yang bermutu, murah, merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di tanah air, serta pendidikan gratis bagi orang miskin.

"Dengan program pendidikan bermutu, murah dan merata sesungguhnya kebijakan program dan pelaksanaan pendidikan sudah menuju pada arah yang benar," kata Presiden pada Rapat Evaluasi Program Prioritas Depdiknas Tahun 2007 dan Program Tahun 2008 serta dalam jumpa pers usai Rapat di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu.

Terkait dengan capaian program pendidikan, Presiden mengemukakan beberapa isu utama yang merupakan permasalahan mendasar bidang pendidikan, yakni pertama adalah biaya pendidikan murah untuk masyarakat miskin, bahkan gratis dan terjangkau.

Isu kedua adalah kualitas dan kesejahteraan guru dan dosen, yakni para guru dan dosen harus jelas mengerti hak dan menjalankan kewajibannya serta memiliki kompetensi.

"Bagaimana mungkin lulusannya bagus kalau kemampuan dosen di bawah standar?" katanya.

Hadir pada Rapat Evaluasi Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yakni Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Menko Kesra Abu Rizal Bakrie, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, gubernur, walikota, dan bupati seluruh Indonesia. Selain itu, hadir para kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten, dan kota seluruh Indonesia.

Lebih lanjut Presiden mengatakan, isu ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah mutu pendidikan terkait dengan standar, kompetisi dibandingkan dengan negara lain, dan lulusan yang siap pakai.

Sementara isu yang keempat adalah relevansi pendidikan dengan lapangan pekerjaan. "Ini penting saudara gubernur, bupati, dan walikota, yakni bahwa hasil pendidikan itu klop dan cocok dengan kebutuhan pasar, industri jasa, pertanian, dan apapun yang dibutuhkan oleh ekonomi dan kegiatan di negari ini," kata Presiden.

Oleh karena itu, kata Presiden, harus ada sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan pasar itu sendiri. "Pasar yang membutuhkan lulusan hasil didik harus pas antara spesialis dengan generalis".

Isu kelima adalah pendidikan yang terus mencetak manusia Indonesia yang tangguh, tidak cengeng, berperilaku tertib, taat hukum, dan taat pranata.

"Kebebasan sangat penting, tapi tidak boleh kebebasan tanpa diimbangi oleh ketaatan pada pranata. Tentu pendidikan juga berkewajiban mendidik putra-putra bangsa, mendidik manusia untuk memiliki sikap yang toleran, dan jauh dari kekerasan. Ini kita rasakan sungguh penting untuk kita lakukan di negeri ini."

Adapun isu keenam adalah hubungan pusat dan daerah menyangkut tanggung jawab pendidikan. Presiden menekankan pentingnya sharing anggaran. "Otonomi daerah sudah kita berlakukan, desentralisasi fiskal juga telah kita jalankan di negeri ini. Oleh karena, itu budget sharing menjadi sangat penting," kata Presiden.

Di samping enam isu utama tersebut, kata Presiden, terdapat isu-isu khusus, yakni. ketersediaan dan harga buku yang terjangkau, pungutan iuran sekolah, gedung sekolah yang belum memadai, gerakan membaca, masalah guru honor dan guru bantu, pentingnya alih bahasa baik daerah maupun internasional, dan badan mutu pendidikan.

Menanggapi permintaan Presiden agar sekolah dan perguruan tinggi menyiapkan calon lulusan yang memiliki kompetensi keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan apsar, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, pada tingkat pendidikan menengah, Depdikans sejak tahun 2005 lalu telah menetapkan kebijakan untuk memperbanyak jumlah SMk dan mengurangi pembangunan SMA baru.

"Kita inginkan ratio jumlah SMK dan SMA adalah 60 : 40 dan secara nasional hampir tercapai yakni 57 : 43, utamanya di provinsi, kabupaten/kota di Pulau Jawa, Bali dan sebagian Kalimantan sudah tercapai sementara di sejumlah daerah lainnya belum terlaksana dengan baik," katanya.

Selain itu, Depdiknas juga mendorong daerah-daerah untuk menuju kota vokasional yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri bagi para lulusannya baik di tingkat SMK dan perguruan tinggi melalui sinergi antara pemda, sekolah dan industri.(*)

Rabu, 24 Desember 2008

kaligrafi 2

Keindahan Kaligrafi Arab

Selasa, 23 Desember 2008

Minggu, 21 Desember 2008

Kaligrafi arab

Kaligrafi ini sangat indah, coba lihat, hayati, dan tulis kembali. Tunjukkandi pameran kaligrafi

MASALAH MUTU

Seorang pembaca pernah mengeluhkan “nasib” pendidikan anaknya. Dalam cita ideal pembaca itu, sang anak seharusnya mengenyam pendidikan yang mampu membentuk kepribadian Muslim sekaligus mampu membekali ilmu pengetahuan yang berkualitas. Tapi apa daya? Institusi pendidikan yang diasumsikan mampu membekali dua hal itu, ibaratnya, jauh api dari panggang: tak terjangkau, mahal.

Mungkin itu pulalah “peta” yang berlaku pada masyarakat Muslim kita. Dalam perspektif ideal, pendidikan yang berbasis pada kurikulum nasional, seperti yang diterapkan oleh sekolah negeri atau sekolah umum, dianggap kurang mengakomodasi penanaman nilai-nilai agama. Bukan saja karena alokasi waktu pengajaran agama yang sangat minim, tetapi kurikulum pendidikan nasional juga dipandang membawa karakter sekularisme, yaitu pemisahan agama dari ilmu pengetahuan.

Sementara itu, institusi pendidikan yang dianggap mampu membekali anak didik dengan pemahaman agama dan.akhlak yang tinggi, seperti pesantren-pesantren tradisional, dianggap tidak “menjanjikan” bagi masa depan anak didik. Bukan saja karena pesantren sering mengesampingkan formalitas (seperti ijazah) yang menjadi standar dunia kerja formal, juga karena di pesantren memang tidak banyak diberikan pengajaran ilmu pengetahuan “umum”.

Jadi? Orang tua kemudian mengambil pilihan dengan risiko masing-masing. Menggunakan jasa sekolah negeri dengan risiko terabaikannya persoalan moral dan pemahaman dien, atau menitipkan di pesantren dengan risiko terjadinya hambatan di dunia kerja formal.

Dalam situasi yang dilematis itu, kemudian muncul ide-ide kreatif. Salah satunya adalah dengan lahirnya ide suplementasi pada kurikulum pendidikan nasional. Setidaknya ada dua bentuk suplementasi yang lahir di permukaan, pertama, suplementasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan formal. Lahirlah apa yang disebut secara salah kaprah dengan pendidikan integral, yakni sistem memadukan antara kurikulum nasional dengan kurikulum pesantren. Disebut salah kaprah, karena sebenarnya perpaduan itu baru pada tingkat fisik, yakni adanya jam “pendidikan umum” dan “pendidikan agama” yang berimbang.

Bentuk seperti ini banyak diambil oleh lembaga pendidikan yang dikelolah secara otonom oleh ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Dalam perjalanannya, model seperti ini kemudian dikembangkan dengan melengkapi sarana dan prasarana secara berkualitas. Bahkan kelengkapan itu menyangkut pula waktu belajar yang dikenal dengan full day school (sekolah sepanjang hari), seperti yang dikembangkan oleh Lembaga Pendidikan Islam (LPI) AI Hikmah Surabaya. Tentu, semua kelengkapan itu meminta risiko: biaya sekolah menjadi mahal; dan ironisnya menyensor mayoritas anak-anak Muslim Indonesia.

Bentuk suplementasi yang kedua terlihat dari model pendidikan informal semacam TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Disebut suplementasi karena yang diajarkan di TPA adalah sebuah kelengkapan kurikulum dari sisi pesantren terhadap kurikulum sekuler di sekolah-sekolah umum. Berbeda dengan model suplementasi pertama yang diberikan secara “integral” (baca beriringan) di sekolah, suplementasi model TPA ini diberikan di luar sekolah. Yang menarik, model suplementasi kedua ini lebih mengakar karena dari segi biaya bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Meskipun dua model suplementasi ini sangat membantu menjaga keseimbangan antara dua kutub model pendidikan: umum dan pesantren, namun tetap saja belum mampu mengintegralkan hakekat kebersatuan ilmu, yang tidak terpisah-pisah dalam ilmu agama dan ilmu umum. Sebab, dalam perspektif Islam, ilmu itu disamping berfungsi sebagai pisau analisis dalam memecahkan persoalan kehidupan (baca membaca sunatullah pada alam semesta), juga harus mampu membuat penyandangnya lebih dekat pada Allah.

Memang, tetap harus dikembangkan bagaimana agar institusi-institusi pendidikan yang sudah mencoba mendekatkan dua kutub model pendidikan secara fisik itu mampu melakukan peleburan dalam satu hakekat ilmu: yaitu ilmu yang bersumber dari Tuhan, yang secara operasional mampu dijadikan sarana memperoleh kemakmuran manusia, dan selanjutnya mampu mendekatkan manusia pada Tuhan, Sang Penguasa Ilmu. Dengan catatan tebal, bahwa institusi yang berkiprah pada proyek berat ini tetap harus mampu mengimplementasikan adanya pendidikan bermutu sebagai hak setiap masyarakat, tidak hanya milik eksklusif para kaum berduit!

Mohammad Nurfatoni