Minggu, 21 Desember 2008

MASALAH MUTU

Seorang pembaca pernah mengeluhkan “nasib” pendidikan anaknya. Dalam cita ideal pembaca itu, sang anak seharusnya mengenyam pendidikan yang mampu membentuk kepribadian Muslim sekaligus mampu membekali ilmu pengetahuan yang berkualitas. Tapi apa daya? Institusi pendidikan yang diasumsikan mampu membekali dua hal itu, ibaratnya, jauh api dari panggang: tak terjangkau, mahal.

Mungkin itu pulalah “peta” yang berlaku pada masyarakat Muslim kita. Dalam perspektif ideal, pendidikan yang berbasis pada kurikulum nasional, seperti yang diterapkan oleh sekolah negeri atau sekolah umum, dianggap kurang mengakomodasi penanaman nilai-nilai agama. Bukan saja karena alokasi waktu pengajaran agama yang sangat minim, tetapi kurikulum pendidikan nasional juga dipandang membawa karakter sekularisme, yaitu pemisahan agama dari ilmu pengetahuan.

Sementara itu, institusi pendidikan yang dianggap mampu membekali anak didik dengan pemahaman agama dan.akhlak yang tinggi, seperti pesantren-pesantren tradisional, dianggap tidak “menjanjikan” bagi masa depan anak didik. Bukan saja karena pesantren sering mengesampingkan formalitas (seperti ijazah) yang menjadi standar dunia kerja formal, juga karena di pesantren memang tidak banyak diberikan pengajaran ilmu pengetahuan “umum”.

Jadi? Orang tua kemudian mengambil pilihan dengan risiko masing-masing. Menggunakan jasa sekolah negeri dengan risiko terabaikannya persoalan moral dan pemahaman dien, atau menitipkan di pesantren dengan risiko terjadinya hambatan di dunia kerja formal.

Dalam situasi yang dilematis itu, kemudian muncul ide-ide kreatif. Salah satunya adalah dengan lahirnya ide suplementasi pada kurikulum pendidikan nasional. Setidaknya ada dua bentuk suplementasi yang lahir di permukaan, pertama, suplementasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan formal. Lahirlah apa yang disebut secara salah kaprah dengan pendidikan integral, yakni sistem memadukan antara kurikulum nasional dengan kurikulum pesantren. Disebut salah kaprah, karena sebenarnya perpaduan itu baru pada tingkat fisik, yakni adanya jam “pendidikan umum” dan “pendidikan agama” yang berimbang.

Bentuk seperti ini banyak diambil oleh lembaga pendidikan yang dikelolah secara otonom oleh ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Dalam perjalanannya, model seperti ini kemudian dikembangkan dengan melengkapi sarana dan prasarana secara berkualitas. Bahkan kelengkapan itu menyangkut pula waktu belajar yang dikenal dengan full day school (sekolah sepanjang hari), seperti yang dikembangkan oleh Lembaga Pendidikan Islam (LPI) AI Hikmah Surabaya. Tentu, semua kelengkapan itu meminta risiko: biaya sekolah menjadi mahal; dan ironisnya menyensor mayoritas anak-anak Muslim Indonesia.

Bentuk suplementasi yang kedua terlihat dari model pendidikan informal semacam TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Disebut suplementasi karena yang diajarkan di TPA adalah sebuah kelengkapan kurikulum dari sisi pesantren terhadap kurikulum sekuler di sekolah-sekolah umum. Berbeda dengan model suplementasi pertama yang diberikan secara “integral” (baca beriringan) di sekolah, suplementasi model TPA ini diberikan di luar sekolah. Yang menarik, model suplementasi kedua ini lebih mengakar karena dari segi biaya bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Meskipun dua model suplementasi ini sangat membantu menjaga keseimbangan antara dua kutub model pendidikan: umum dan pesantren, namun tetap saja belum mampu mengintegralkan hakekat kebersatuan ilmu, yang tidak terpisah-pisah dalam ilmu agama dan ilmu umum. Sebab, dalam perspektif Islam, ilmu itu disamping berfungsi sebagai pisau analisis dalam memecahkan persoalan kehidupan (baca membaca sunatullah pada alam semesta), juga harus mampu membuat penyandangnya lebih dekat pada Allah.

Memang, tetap harus dikembangkan bagaimana agar institusi-institusi pendidikan yang sudah mencoba mendekatkan dua kutub model pendidikan secara fisik itu mampu melakukan peleburan dalam satu hakekat ilmu: yaitu ilmu yang bersumber dari Tuhan, yang secara operasional mampu dijadikan sarana memperoleh kemakmuran manusia, dan selanjutnya mampu mendekatkan manusia pada Tuhan, Sang Penguasa Ilmu. Dengan catatan tebal, bahwa institusi yang berkiprah pada proyek berat ini tetap harus mampu mengimplementasikan adanya pendidikan bermutu sebagai hak setiap masyarakat, tidak hanya milik eksklusif para kaum berduit!

Mohammad Nurfatoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar