Rabu, 07 Januari 2009

Mahal, Pendidikan Bermutu Rendah

Anggaran pendidikan yang hampir tak pernah lebih dari 10 persen APBN, target kelulusan ujian nasional yang rendah, standar pendidikan yang baru ribut disusun setelah 60 tahun merdeka, dan pendidikan yang seolah-olah hanya urusan Menteri Pendidikan, mengungkap satu hal: pemerintah tidak memiliki kebijakan pendidikan berorientasi mutu tinggi.

Pemerintah berganti-ganti, termasuk pemerintah saat ini, masih percaya, orang Indonesia yang rata-rata miskin tidak berhak memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi karena pendidikan semacam ini mahal (terlalu mewah) biayanya. Benarkah demikian?

Itu adalah kebijakan yang amat keliru dan biaya pendidikan murah serta bermutu rendah ini justru mahal sekali. Kemiskinan adalah harga yang harus dibayar dari pendidikan semacam ini.

Kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu tinggi telah menyebabkan infrastruktur pendidikan yang jauh dari memadai (gedung rusak tidak terawat, perpustakaan dengan koleksi usang dan terbatas), guru yang tidak kompeten dan memiliki citra diri yang negatif, serta proses-proses pembelajaran yang miskin inovasi karena penelitian pendidikan yang telantar.

Akibat pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun, untuk dua tahun terakhir ini saja pengangguran warga usia produktif ditaksir mencapai sekitar 15 juta orang.

Pengangguran yang tinggi disebabkan dua hal: kesempatan kerja terbatas dan inkompetensi (warga yang tidak terdidik dan terlatih baik).

Dari dua hal ini, inkompetensi dalam banyak situasi merupakan faktor yang menyebabkan kesempatan kerja terbatas. Banyak lulusan pendidikan yang tidak memiliki kompetensi dasar yang dibutuhkan wirausahawan: berani mengambil risiko, kreatif, dan peka pasar. Birokrat yang tidak kompeten telah menampilkan perilaku yang tidak ramah pada investor sehingga investasi yang melahirkan kesempatan kerja tidak tumbuh seperti diharapkan.

Akibat pengangguran ini saja, kita telah merugi kira-kira Rp 15 triliun per bulan atau sekitar Rp 180 triliun per tahun berupa opportunity loss. Anggaran APBN yang hanya sekitar Rp 40 triliun saat ini tidak sebanding dengan kerugian akibat kehilangan kesempatan bekerja yang besarnya bisa mencapai empat kali lipat. Ini berarti, pendidikan yang bermutu rendah justru mahal sekali harganya. Bahkan, banyak perusahaan yang mulai melakukan relokasi usaha ke negara lain yang lebih ramah, seperti Malaysia, Vietnam, dan China.

Kolam talenta

Warga negara yang tidak kompeten juga menyumbang pada jumlah investasi yang rendah di negeri ini. Daya tarik investasi sebuah negara sebagian ditentukan oleh kolam talenta negeri itu. Warga yang tidak terampil, penguasaan bahasa asing yang amat terbatas, sikap yang tidak jujur, indisiplin, dan tidak toleran merupakan disinsentif bagi investasi. Lingkungan yang rusak juga merupakan indikasi warga negara yang tidak terdidik dengan baik.

Warga dan pemimpin yang tidak terdidik dengan baik gagal mengembangkan dialog sosial, menggunakan sarana demonstrasi sebagai cara berkomunikasi, bukan dengan berdebat.

Budaya demonstrasi, bahkan oleh mahasiswa, adalah indikasi kegagalan demokrasi yang sehat. Cara berkomunikasi satu arah ini menunjukkan kegagalan sekolah dan kampus mengembangkan budaya berbeda pendapat secara sehat. Kita tahu, demonstrasi mudah sekali ditunggangi untuk dibawa ke anarki, amuk massa, dan kerusakan prasarana serta sarana pembangunan.

Warga yang tidak terdidik hanya akan menghasilkan demokrasi yang tidak sehat, menghasilkan pemimpin yang tidak berkompeten. Berapa biaya yang harus kita tanggung akibat pejabat eksekutif dan legislatif, juga yudikatif, yang tidak kompeten secara moral dan teknikal?

Biayanya adalah reformasi yang tidak jelas ujungnya, seperti saat ini, serta revitalisasi ekonomi yang amat lamban.

Secara teoretis, kebijakan menetapkan target mutu pendidikan yang rendah (semacam nilai kelulusan ujian 4,50) adalah resep bagi banyak produk pendidikan yang cacat (lulusan pendidikan yang tidak kompeten jumlahnya justru besar).

Kebijakan mutu tinggi, jika disikapi secara konsisten, akan menghasilkan banyak lulusan yang kompeten, dan jumlah ketidaklulusan (yang tidak kompeten) justru sedikit. Kebijakan ini akan menghasilkan warga negara yang berkompeten dalam jumlah besar.

Masalahnya adalah, berbeda dengan cacat barang yang dengan mudah bisa didaur ulang, manusia yang terlanjur salah didik, tidak berkompeten secara moral, mahal sekali biaya rehabilitasinya. Warga semacam ini bukan aset bangsa, tetapi malah menjadi liability-nya. Dan, jika jumlahnya terlalu besar, akan menjadi "bom waktu" demografi.

Efek berganda

Investasi pembangunan pendidikan yang memadai akan menggerakkan ekonomi masyarakat dengan efek berganda yang besar melalui pembangunan sekolah baru, pengadaan dan perawatan infrastruktur pendidikan, peningkatan ekonomi perbukuan, serta daya beli guru yang meningkat (jumlahnya ratusan ribu). Warga yang kompeten tidak saja sanggup meraih setiap peluang kerja yang tersedia melalui investasi, tapi juga sanggup menciptakan lapangan-lapangan kerja yang baru.

Karena itu, kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu sekarang ini adalah kebijakan yang keliru dan mahal biayanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengambil alih kebijakan pendidikan nasional dari sekadar urusan Menteri Pendidikan Nasional.

Masalah pendidikan adalah masalah lintas sektor, harus menjadi kebijakan presiden. Kita harus segera mengambil kebijakan pendidikan berorientasi mutu yang tinggi.

Jika perubahan kebijakan pendidikan ini tidak kunjung berubah, saya curiga, kebijakan pendidikan yang tidak bermutu ini disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam. Money politics akan "tidak dibeli" oleh warga negara yang terdidik.

Daniel MOH Rosyid
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Tenaga Ahli Menristek, dan Dosen Teknik Kelautan ITS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar